Oleh: Haikal Alghomam Suhardi, BA
Umat Islam sejak zaman kenabian senantiasa di bawah kepemimpinan satu
imam/ khalifah, hingga datang zaman Dinasti Bani Abbas yang memegang kekhalifahan
sejak tahun 132 H. Seiring berjalannya waktu, muncul fenomena berdirinya
negara-negara dan kerajaan kecil dalam tubuh kekhalifahan. Ada yang berdiri
dengan restu kekhalifahan dan memisahkan diri secara administrasi dan nama
saja. Ada pula yang memang memisahkan diri secara mutlak tanpa ingin
diintervensi oleh kekhalifahan pusat di Baghdad. Di antara kerajaan-kerajaan
kecil ini terdapat sebuah keamiran yang berdiri di wilayah Khurasan[1]
yang memiliki hubungan yang kuat dengan kekhalifahan.
Keamiran ini dinisbatkan kepada pendirinya Tahir bin Al-Husain bin Mush’ab
bin Zuraiq bin Mahan, salah satu panglima utama di zaman khalifah
Al-Ma’mun. Sang kakek, Mush’ab bin
Zuraiq adalah walikota Pushang[2]
di zaman revolusi Bani Abbas untuk mendirikan kekhalifahan. Ia bergabung dengan
revolusi ini dengan menjadi sekretaris salah satu bawahan Abu Muslim
Al-Khurasani[3]. Sepeninggal
Mush’ab, jabatan walikota Pushang diteruskan oleh anaknya Al-Husain, kemudiah
cucunya Tahir. Wangsa Tahir berdalih bahwa mereka adalah keturunan Rustum,
pahlawan bangsa Persia yang masyhur. Tetapi riwayat lain menyatakan bahwa
keluarga ini datang ke Pushang di bawah naungan seorang pemuka suku Arab
Khuza’ah. Oleh karena itu, mereka juga disebut dengan orang-orang Khuza’ah karena
persekutuan mereka dengan suku tersebut.
TAHIR BIN AL-HUSAIN DALAM
PERSETERUAN ANTARA AL-AMIN DAN AL-MA’MUN
Sosok Tahir bin Al-Husain baru muncul ke
permukaan ketika ikut menemani Hartsamah bin A’yun salah seorang panglima
khalifah Harun Ar-Rasyid untuk memadamkan pemberontakan Rafi’ bin Laits di
Samarkand. Rafi’ yang mendengar reputasi baik Al-Ma’mun di Khurasan segera
meminta perlindungan kepadanya dan hal itu dikabulkan.
Ketika terjadi perselisihan antara Al-Ma’mun gubernur
Khurasan dengan adiknya Al-Amin yang naik tahta menggantikan Ar-Rasyid, karena
perbuatan Al-Amin yang mencopot Al-Mu’taman adiknya dari posisi deputi putra
mahkota, Al-Ma’mun segera memutuskan hubungan pos antara Baghdad dan Khurasan.
Korespondensi yang terjadi antara Al-Amin dan Al-Ma’mun tidak membuahkan hasil
dan berujung pada pelengseran Al-Ma’mun dari posisi deputi putra mahkota pada
tahun 195 H. Khalifah Al-Amin lalu memerintahkan pegawainya untuk merobek
naskah perjanjian yang dahulu diadakan ayahnya Ar-Rasyid antara dirinya dengan
Al-Ma’mun di depan Ka’bah. Maka, masuklah perseteruan keduanya pada fase
bentrokan militer.
Al-Amin mengutus Ali bin Isa bin Mahan dari Baghdad
sebagai pimpinan pasukan yang berjumlah 40.000 orang untuk mengalahkan pasukan
Al-Ma’mun. Sementara, Al-Ma’mun menyerahkan komando pasukannya kepada Tahir bin
Al-Husain yang segera mengambil posisi di Ray. Pertempuran terjadi antara dua
kubu, berakhir dengan kekalahan pasukan Al-Amin dan kematian panglima mereka
Ali bin Isa. Kekalahan ini menimbulkan kepanikan di kota Baghdad. Dua pasukan
Al-Amin berikutnya juga berhasil dipatahkan oleh Tahir bin Al-Husain yang
memiliki semangat dan kepiawaian berperang yang tinggi. Lalu pasukan Al-Ma’mun
berhasil menaklukkan seluruh wilayah timur kekhalifahan dan ia mendeklarasikan
dirinya sebagai khalifah yang sah di wilayah tersebut. Kemudian, ia
memerintahkan Tahir untuk bergerak menuju Al-Ahwaz dan menyerahkan komando atas
kota-kota yang berhasil ditaklukkan kepada Hartsamah bin A’yun.
Tahir bin Al-Husain berhasil memasuki kota Baghdad setelah kemenangan yang
gemilang terhadap pasukan-pasukan Al-Amin. Ia berhasil meyakinkan
panglima-panglima Al-Amin untuk bergabung dengan pasukannya, yang bertambah
kuat dari waktu ke waktu. Terjadi perbedaan pandangan antara Hartsamah dan
Tahir tentang masalah Al-Amin. Hatsamah ingin mengadakan rekonsiliasi antara
kedua saudara, ia bahkan memberikan jaminan hidup bagi Al-Amin dan memintanya
untuk segera mendatanginya. Di sisi lain, Tahir menginginkan kematian Al-Amin
sebagai wujud hukuman atas perbuatannya. Al-Amin yang sedang dalam perjalanan
menuju ke tempat Hartsamah pun disergap oleh beberapa orang pasukan Tahir dan
menemui ajalnya di tangan sekumpulan pasukan dari ras Persia. Kepala Al-Amin
kemudian dikirim oleh Tahir kepada Al-Ma’mun di Khurasan yang menjadikan ia
menyesal seumur hidup atas kecelakaan yang menimpa diri adiknya. Al-Ma’mun
sebenarnya lebih ingin bertemu dengan Al-Amin dalam keadaan hidup dan
merundingkan solusi perselisihan antara keduanya.
Sebagai imbalan atas jasa-jasanya, khalifah Al-Ma’mun
melantik Tahir bin Al-Husain menjadi gubernur Al-Jazirah[4],
di samping menjadi gubernur militer (syurtah) kota Baghdad. Beberapa
anggota keluarganya juga diberi posisi yang strategis dalam pemerintahan
Al-Ma’mun. Akan tetapi Tahir selalu menginginkan posisi gubernur Khurasan yang
merupakan tanah kelahirannya. Al-Ma’mun yang menyadari hal itu khawatir akan
ambisi Tahir menjadikan ia nantinya memerdekakan diri di Khurasan. Kekhawatiran
ini diungkapkannya kepada menteri Ahmad bin Abu Khalid, yang menenangkan diri
sang khalifah dan bersedia menjamin ketaatan Tahir kepadanya. Akhirnya,
Al-Ma’mun melantik Tahir bin Al-Husain sebagai gubernur Khurasan, di samping
posisi sebagai gubernur militer kota Baghdad.
Terdapat persilangan pendapat di antara para sejarawan
muslim tentang alasan penunjukan ini. Ada yang berpendapat bahwa penunjukan ini
dimaksudkan untuk menjauhkan Tahir dari dinamika politik di Baghdad, mengingat
bahwa ia adalah sosok yang memiliki ambisi politik yang tinggi serta pengaruh
yang kuat. Sebagian lain berpendapat bahwa sebabnya adalah ketidaksenangan
khalifah terhadap Tahir karena kejadian yang menimpa Al-Amin di masa lalu.
Penunjukan ini dianggap sebagai pengusiran Tahir agar jauh dari Baghdad. Namun, pendapat yang paling mendekati
kebenaran adalah kepiawaian militer dan administrasi Tahir dianggap mampu untuk
memadamkan gerakan-gerakan separatis yang berkelanjutan di Khurasan. Kepiawaian
ini tidak dimiliki oleh gubernur Khurasan sebelumnya Ghassan bin Abbad. Setelah itu, bergeraklah Tahir bin Al-Husain
menuju Khurasan yang akhirnya tunduk di bawah kepemimpinannya pada tahun 205 H.
Tahir kemudian menjadikan kota Merv sebagai ibukota dari provinsi Khurasan.
Tahir menggunakan gelar “amir” selama memerintah di wilayah Khurasan.
Amir Tahir tetap menjadi gubernur Khurasan hingga tahun
207 H. Berkat ambisi tingginya, sejak lama ia menginginkan kemerdekaan Khurasan
dari pemerintahan Bani Abbas. Akan tetapi, hal itu belum terwujud hingga datang
tahun tersebut. Saat itu amir Tahir menyampaikan khutbah Jum’at tanpa mendoakan
khalifah Al-Ma’mun. Terlepas dari kesengajaan atau tidaknya, perbuatan ini
dianggap bentuk dari kedurhakaan terhadap khalifah, karena berdoa untuk
pemimpin dalam khutbah adalah simbol pengakuan terhadap kepemimpinan seseorang.
Saat itu hadir petugas pos Khurasan, Kultsum bin Tsabit yang merupakan orang
kepercayaan Al-Ma’mun. Selain itu, kewajiban petugas pos adalah memberitakan
setiap kejadian yang ada secara langsung kepada khalifah. Maka, Kultsum segera
beranjak dari tempatnya dan pulang ke rumah. Ia segera bersiap untuk menghadapi
kematian, karena sewaktu-waktu bisa saja sang amir menyergapnya. Setelah ia
melepas pakaian hitam[5], menggantinya dengan warna putih dan mandi
wajib; ia menulis surat kepada Al-Ma’mun memberitahukannya tentang apa yang
terjadi. Setelah shalat Asar, amir Tahir sempat memanggil Kultsum. Namun,
tiba-tiba ia jatuh sakit dan meninggal seketika.
Bersambung...
[1] Sebuah wilayah di timur kekhalifahan Dinasti Abbasiyah
yang meliputi tanah-tanah negeri Persia. Kota-kota besarnya adalah Nishapur,
Tus (kini di Iran), Heart, Balkh, dan Kabul (kini di Afghanistan), Merv (kini
di Turkmenistan), Samarkand, dan Bukhara (kini di Uzbekistan).
[2] Pushang: dalam Bahasa Arab dikenal sebagai Bushanj,
Bushang, Fusanj dan Pushanj. Sebuah kota kecil di Khurasan yang berdekatan
dengan kota Herat. Kota ini telah mengalami beberapa kali kehancuran dan
pembangunan kembali. Di zaman modern, sebuah kota kecil dibangun berdekatan
dengan lokasi kota lama dan dinamakan Ghurian.
[3] Panglima besar revolusi Bani Abbas di Khurasan
terhadap kekhalifahan Dinasti Umayyah. Namun kemudian karena tidak mematuhi
khalifah Dinati Abbasiyah yang kedua, Abu Ja’far Al-Mansur dan menjadi ancaman
bagi negara, ia dibunuh oleh salah seorang panglima Al-Mansur.
[4] Al-Jazirah: sebuah daerah di Irak yang dikelilingi
oleh dua sungai Eufrat dan Dajlah.
[5] Pakaian hitam saat itu merupakan simbol pakaian
Dinasti Abbasiyah, sementara pakaian hijau adalah simbol kaum ‘Alawiyyin
(keturunan Ali bin Abi Thalib-red).
DAFTAR PUSTAKA:
- Al-‘Alam Al-Islami fil Ashr Al-Abbasi: Ahmad Ibrahim Syarif dan Hasan Ahmad Mahmud.
- Al-Uyun wal Hadaiq fi Akhbar Al-Haqaiq: penulisnya tidak diketahui.
- Atlas At-Tarikh Al-Arabi Al-Islami: Dr. Syauqi Abu Khalil.
- Baghdad: Ibnu Thaifur (wafat tahun 280 H), tahqiq: Muhammad Abul Fadhl Ibrahim.
- Khurasan At-Tarikhiyah fi Dhou’ Al-Mashadir Al-Arabiyyah Al-Islamiyah: Jamaluddin Falih Al-Kailani.
- Tarikh Ad-Daulah Al-Abbasiyah – Al-‘Ashr Al-Abbasi Al-Awwal: Ahmad Ismail Al-Jaburi.
- Tarikh Ad-Duwal Al-Islamiyah fi Asia: Yasir Abdul Jawwad Al-Masyhadani.
- Tarikh Al-Islam wa Wafayat Al-Masyahir wal A’lam: Imam Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H), tahqiq: Umar Abdussalam Tadmuri.
- Tarikh Al-Khulafa’: Imam Jalaluddin Suyuthi (wafat tahun 911 H).
- Tarikh ar-Rusul wal Muluk: Imam Ibnu Jarir At-Thabari (wafat tahun 310 H).
- Tarikh Iran Ba’da Al-Islam: Abbas Iqbal Isytiyani, terjemah Muhammad Alauddin Mansur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar