Oleh: Haikal Alghomam Suhardi, BA
Kerjasama yang baik ini
menambah kepercayaan khalifah Al-Ma’mun padanya. Bahkan Al-Mu’tasim yang tidak
menyukainya hanya berani mengadakan konspirasi secara diam-diam untuk membunuh
sang amir. Usaha ini tidak kunjung membuahkan hasil. Amir Abdullah yang
akhirnya mengetahui rencana tersebut, tidak lantas memberontak kepada khalifah,
tetapi tetap menunjukkan kesetiaan dan i’tikad baik. Ketika ia wafat, khalifah
Al-Watsiq ingin menunjuk orang lain di luar wangsa Tahir sebagai gubernur
Khurasan. Namun keputusan tersebut dengan cepat dirubah olehnya sebelum
keberangkatan sang gubernur baru. Akhirnya, ia menyetujui penunjukan Tahir II
sebagai pengganti ayahnya.
Sebagai balasan atas khidmah yang besar dan prestasi yang
membanggakan ini, pihak kekhalifahan menghargai mereka dan menjadikan mereka
sebagai orang-orang terdekat khalifah. Kekhalifahan memihak pada wangsa
Tahir ketika terjadi konflik antara mereka dengan wangsa Saffar[1]
yang berhasil meruntuhkan keamiran mereka di Khurasan tahun 259 H. Setelah itu,
jabatan gubernur militer Baghdad tetap dipertahankan untuk anggota keluarga
wangsa Tahir hingga tahun 310 H, setengah abad setelah runtuhnya keamiran
mereka.
KEMAJUAN ILMU PENGETAHUAN
DAN PERKEMBANGAN EKONOMI
Para amir wangsa Tahir sangat memperhatikan keadaan
rakyat mereka dengan sebaik-baiknya. Zaman itu adalah masa yang bersinar dengan
ilmu pengetahuan dan budaya, serta menitikberatkan pada perkembangan ekonomi
dan administrasi pemerintahan. Masuknya bangsa Arab ke tanah Persia memulai
pembelajaran bahasa Arab secara luas di wilayah tersebut hingga menjadi bahasa
resmi dalam korespondensi dan administrasi. Perhatian para amir wangsa Tahir
terhadap budaya Arab dibandingkan budaya Persia dapat dikatakan didasari oleh
pemahaman mereka bahwa budaya Persia banyak menyalahi aturan Islam. Dari awal,
mereka telah banyak mendatangkan para sastrawan Arab dan ulama ke negeri
Khurasan. Buktinya, ketika amir Abdullah bin Tahir I ditunjuk menjadi gubernur
Khurasan oleh khalifah Al-Ma’mun, ia meminta izin untuk ditemani oleh sejumlah
ulama kota Baghdad. Siasat politik Abdullah yang membuka lebar kesempatan bagi
tiap orang juga membuahkan hasil. Dalam hal ini, amir Abdullah berpendapat,
“Mencurahkan diri untuk ilmu merupakan kewajiban para ulama dan bukan ulama.
Ilmu itu lebih kebal untuk tidak dipegang oleh yang bukan ahlinya”.
Khazanah kitab para amir wangsa Tahir dipenuhi oleh
kitab-kitab para ulama. Di antaranya adalah kitab-kitab Imam Abu Ubaid Al-Qasim
bin Sallam (wafat tahun 224 H) dalam berbagai tema dan bahasan. Kitab-kitab ini
sempat dilihat oleh Al-Khatib Al-Baghdadi[2]
dijual dari harta warisan sebagian anggota wangsa Tahir.
Para amir ini juga mendekatkan diri kepada para ulama.
Ahli hadits Ishaq bin Ibrahim Al-Hanzholi yang dikenal dengan nama Imam Ibnu
Rahawaih (wafat tahun 238 H) memiliki kedudukan yang tinggi di sisi amir Abdullah
bin Tahir I. Ahli hadits Yahya bin Yahya Abu Zakariya An-Naisaburi (wafat tahun
226 H) juga merupakan orang terdekatnya. Ulama-ulama lain banyak yang
mendatanginya guna menunaikan hajat mereka dari amir Abdullah bin Tahir I yang
memuliakan para ulama karena kedekatannya dengan Yahya bin Yahya. Salah satu
bentuk perhatian amir Abdullah terhadap kemajuan ilmu pengetahuan adalah
memuliakan para ulama dengan menyediakan tempat-tempat tinggal bagi mereka yang
datang ke Khurasan, dengan harapan hal ini dapat membantu lancarnya
praktik pengajaran.
Contoh lainnya adalah ketika ia mendatangkan ahli tafsir
Al-Husain bin Al-Fadhl Al-Bijilli dari Kufah (wafat tahun 282 H) ke Nishapur
pada tahun 217 H, ia tempatkan sang ‘alim di rumah yang dibelinya sendiri.
Beliau pun menetap di Khurasan untuk mengajar selama 65 tahun hingga akhir
hayatnya. Selain itu, amir Abdullah juga sering mengadakan majlis bersama para
ulama dan meminta saran mereka dalam keputusan-keputusan penting.
Sedangkan dalam bidang ekonomi, para amir wangsa Tahir
memprioritaskan bidang agraria dan sarana pengembangannya. Mereka senantiasa
memperketat sistem serta pengawasan terhadap para pegawai di bidang tersebut.
Pegawai yang lalim terhadap rakyat dikenai hukuman cambuk. Amir Abdullah bin
Tahir I sering berpesan kepada para pegawai agar memperhatikan para petani dan
menunaikan hak-hak mereka. Mengenai ini ia berkata, “Sesungguhnya Allah memberi
kita makan dari tangan-tangan mereka (para petani), memberi kita rahmat melalui
doa-doa mereka, dan Ia melarang kita untuk berbuat buruk kepada mereka”.
Sepeninggal Tahir II tahun 248 H, keamiran dipegang oleh
putranya Muhammad bin Tahir II atas persetujuan khalifah Al-Musta’in Billah.
Amir Muhammad adalah sosok yang lemah dan lalai, serta lebih suka befoya-foya
lagi suka berkelakar. Karena kelemahan dirinya dalam mengatur administrasi, para
pegawainya –termasuk pamannya Sulaiman bin Abdullah yang menguasai sebagian
daerah Thabaristan- menjadi semena-mena terhadap rakyat jelata. Ini yang
akhirnya memicu pemberontakan penduduk Thabaristan terhadap pemerintahan
Sulaiman dan lebih memilih dikuasai oleh kaum ‘Alawiyyin[3].
Husain bin Zaid yang merupakan da’i kaum ‘Alawiyyin berhasil memukul mundur
Sulaiman dan pasukannya keluar dari Thabaristan. Thabaristan pun jatuh di
tangan kaum ‘Alawiyyin yang berhasil mendirikan kerajaan mereka yang menganut
paham Syiah Zaidiyah pada tahun 250 H.
Pada tahun 248 H, kekuatan Ya’qub bin Laits dari wangsa
Saffar di Sijistan menjadi semakin kuat berkat melemahnya kekuatan wangsa
Tahir. Pasukan wangsa Saffar berhasil menaklukkan sebagian besar daerah di
Khurasan dan memasuki kota Herat. Pada tahun 259 H, mereka mendekati Nishapur
ibukota keamiran wangsa Tahir. Melalui sebagian keluarganya, Ya’qub berhasil
meminta izin dari amir Muhammad bin Tahir II untuk memasuki kota Nishapur dan
tinggal di salah satu sudut kota. Amir Muhammad pun keluar untuk menemui
Ya’qub, namun pertemuan mereka tidak berjalan dengan lancar. Akhirnya Ya’qub
bin Laits mewakilkan Nishapur kepada salah seorang bawahannya yang bernama
Aziz. Aziz kemudian berhasil menangkap dan memenjarakan amir Muhammad beserta
keluarganya. Dengan begitu, berakhirlah kekuasaan wangsa Tahir di wilayah
Khurasan.
Ketika kabar ini terdengar ke telinga khalifah Al-Musta’in, Ya’qub beralasan bahwa penaklukannya terjadi atas permintaan penduduk Khurasan, yang menyuratinya agar menstabilkan keadaan yang semakin kacau balau di sana. Ketika itu perampokan dan kejahatan menyebar di mana-mana akibat ketidak mampuan pemerintah wangsa Tahir dalam mengamankan keadaan negeri. Maka ketika Ya’qub mendekati kota Nishapur, ia disambut oleh para penduduk kota yang lantas menyerahkan kota mereka kepada Ya’qub. Namun, hal ini tidak dibenarkan dan dikecam oleh khalifah, karena wangsa Tahir merupakan penguasa Khurasan yang sah. Selain itu, Ya’qub telah dibebani tugas lain oleh khalifah, yang belum dipenuhi olehnya. Bahkan khalifah memerintahkan agar dibacakan surat resmi di hadapan para jamaah haji asal Khurasan bahwa pemerintahan Ya’kub adalah pemerintahan separatis yang belum mendapatkan legalitas dari pihak kekhalifahan. Setelah runtuhnya keamiran ini, anggota wangsa Tahir tetap menjabat sebagai gubernur militer kota Baghdad sampai tahun 310 H.
Ketika kabar ini terdengar ke telinga khalifah Al-Musta’in, Ya’qub beralasan bahwa penaklukannya terjadi atas permintaan penduduk Khurasan, yang menyuratinya agar menstabilkan keadaan yang semakin kacau balau di sana. Ketika itu perampokan dan kejahatan menyebar di mana-mana akibat ketidak mampuan pemerintah wangsa Tahir dalam mengamankan keadaan negeri. Maka ketika Ya’qub mendekati kota Nishapur, ia disambut oleh para penduduk kota yang lantas menyerahkan kota mereka kepada Ya’qub. Namun, hal ini tidak dibenarkan dan dikecam oleh khalifah, karena wangsa Tahir merupakan penguasa Khurasan yang sah. Selain itu, Ya’qub telah dibebani tugas lain oleh khalifah, yang belum dipenuhi olehnya. Bahkan khalifah memerintahkan agar dibacakan surat resmi di hadapan para jamaah haji asal Khurasan bahwa pemerintahan Ya’kub adalah pemerintahan separatis yang belum mendapatkan legalitas dari pihak kekhalifahan. Setelah runtuhnya keamiran ini, anggota wangsa Tahir tetap menjabat sebagai gubernur militer kota Baghdad sampai tahun 310 H.
[1] Wangsa Saffar: bermula dari gerakan sukarelawan yang
membantu kekhilafahan Dinasti Abbasiyah untuk menumpas gerakan separatis di
Sijistan. Gerakan ini kemudian berhasil mendirikan pemerintahan dinasti Saffar
di Sijistan, meluas ke Khurrasan hingga hampir mendekati Baghdad.
[2] Abu Bakr Ahmad bin Ali bin Tsabit bin Ahmad bin Mahdi
Asy-Syafi`i, lebih dikenal sebagai Al-Khatib Al-Baghdadi (wafat tahun 463 H)
adalah seorang ulama ahli hadis dan sejarawan.
[3] Kaum ‘Alawiyyin di Thabaristan berhasil mendirikan
negara mereka setelah mengusir pasukan Wangsa Tahir. Negara ini menganut paham
Syiah Zaidiyah yang menisbatkan diri kepada Zaid bin Ali bin Hasan bin Ali bin Abi
Thalib.
DAFTAR PUSTAKA:
- Al-‘Alam Al-Islami fil Ashr Al-Abbasi: Ahmad Ibrahim Syarif dan Hasan Ahmad Mahmud.
- Al-Uyun wal Hadaiq fi Akhbar Al-Haqaiq: penulisnya tidak diketahui.
- Atlas At-Tarikh Al-Arabi Al-Islami: Dr. Syauqi Abu Khalil.
- Baghdad: Ibnu Thaifur (wafat tahun 280 H), tahqiq: Muhammad Abul Fadhl Ibrahim.
- Khurasan At-Tarikhiyah fi Dhou’ Al-Mashadir Al-Arabiyyah Al-Islamiyah: Jamaluddin Falih Al-Kailani.
- Tarikh Ad-Daulah Al-Abbasiyah – Al-‘Ashr Al-Abbasi Al-Awwal: Ahmad Ismail Al-Jaburi.
- Tarikh Ad-Duwal Al-Islamiyah fi Asia: Yasir Abdul Jawwad Al-Masyhadani.
- Tarikh Al-Islam wa Wafayat Al-Masyahir wal A’lam: Imam Adz-Dzahabi (wafat tahun 748 H), tahqiq: Umar Abdussalam Tadmuri.
- Tarikh Al-Khulafa’: Imam Jalaluddin Suyuthi (wafat tahun 911 H).
- Tarikh ar-Rusul wal Muluk: Imam Ibnu Jarir At-Thabari (wafat tahun 310 H).
- Tarikh Iran Ba’da Al-Islam: Abbas Iqbal Isytiyani, terjemah Muhammad Alauddin Mansur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar